LajuBerita - Bertepatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM), nama penggiat Hak Asasi Manusia, Munir Said Thalib, kembali menjadi sorotan. Tahun ini, tepat 15 tahun Munir dibunuh di udara. Namun, hingga kini, dalang pembunuhannya belum juga terungkap.
Bisa dibilang penyesalan terbesar dalam hidup Suciwati, istri mendiang aktivis hak asasi manusia (HAM) Munir Said Thalib, adalah memberi tahu tanggal keberangkatan Munir ke Belanda kepada pilot Garuda Indonesia saat itu, Pollycarpus Budihari Priyanto. Andai saja ia tak memberi tahu, mungkin Munir masih ada sampai sekarang dan terus berjuang membela hak asasi manusia atau HAM.
"Saya menyesal telah menyampaikan tanggal keberangkatan Munir kepada Polly, tapi, almarhum (Munir) menenangkan saya dan bilang enggak apa-apa," kata Suci menirukan ucapan Munir kala itu.
Perjalanan malam itu ke Negeri Kincir Angin menjadi akhir kehidupan Munir sekaligus pertemuan terakhir Suciwati dengan sang suami yang amat dicintainya itu. Pendiri Imparsial dan Kontras itu meninggal dunia akibat diracun di udara ketika dalam perjalanan ke Amsterdam, Belanda, pada 7 September 2004.
Sebelum keberangkatan ke Belanda, baik Suciwati maupun Munir, telah menemukan beberapa kejanggalan. Salah satunya, telepon dari Pollycarpus. Empat hari sebelum keberangkatan Munir ke Belanda, 2 September 2004, Suciwati mengaku mengangkat telepon masuk ke ponsel Munir. Kebetulan ketika itu, Munir sedang ke warung di dekat rumahnya dan ponsel ditinggal di rumah.
Telepon itu dari orang yang mengaku sebagai Polly. Suara pria di ujung telepon itu menanyakan hari keberangkatan Munir ke Belanda. Tanpa curiga, Suciwati pun memberi tahu bahwa Munir berangkat pada Senin, 6 September.
Baca Juga : Forbes Merilis Daftar Orang Terkaya Di Indonesia 2019, Hartono Bersaudara Tetap Nomer Satu.
Saat Suciwati menanyakan ada kepentingan apa Polly menelepon, ia menjawab bahwa ia adalah teman Munir yang bekerja di Garuda Indonesia dan berencana berangkat bersama Munir ke Belanda. Merasa risau dengan telepon itu, Suci menanyakan siapa Polly dan menyampaikan telepon tersebut kepada Munir setiba di rumah. Dengan santai, Munir mengatakan, "Orang aneh dan sok akrab."
Keanehan Polly juga disampaikan Munir lebih jauh. Sebelumnya, Munir pernah bertemu Polly di bandara ketika hendak berangkat ke Swiss pada awal 2004. Ketika itu, Polly menitipkan sebuah surat kepadanya untuk diposkan di Swiss.
Hal ini jelas aneh. Sebab, menurut Munir, Polly merupakan seorang pilot yang tentunya punya banyak kenalan, tapi mengapa menitip surat kepadanya. Padahal, tak saling mengenal.
Ternyata ada rencana Polly menanyakan hal itu. Ia berusaha mengatur jadwal dan memalsukan surat penugasan agar bisa ikut dalam penerbangan bersama Munir. Padahal, ia seharusnya menjadi pilot utama penerbangan menuju Peking, China, pada 5-9 September 2004.
Orang aneh dan sok akrab.
Dibunuh di Udara
Keberangkatan Munir ke Belanda untuk melanjutkan studi megisternya di bidang hukum. Pria lulusan fakultas hukum Universitas Brawijaya itu mendapat beasiswa S-2 di Universitas Utrecht, Belanda, untuk bidang perlindungan internasional terkait hak asasi manusia.
Selain untuk berkuliah, keberangkatan Munir ke Belanda juga untuk mengobati anak sulungnya, Soultan Alif Allende, yang mengalami autisme. Munir memang sudah berencana memboyong keluarga kecilnya itu ke Negara Tulip saat sudah menetap di sana.
Diantar sang istri, kedua anak, juga rekan sesama aktivis, dengan semangat penuh, Munir menaiki pesawat Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA-974 tujuan Amsterdam, dengan transit di Singapura. Sayangnya, semua impian indah itu harus berubah menjadi cerita kelam. Di atas ketinggan lebih dari 10 ribu kaki, Munir mengembuskan napas terakhirnya.
Ia tewas dua jam sebelum pesawat mendarat di Bandar Udara Schipol, Amsterdam, pukul 08.10 waktu setempat. Hasil autopsi Kepolisian Belanda menemukan Munir tewas karena racun arsenik dalam tubuhnya yang berjumlah 3,1 miligram. Jumlah ini dua kali lipat dari ketahanan tubuh manusia. Berita kematiannya pun menyebar ke se-antero negeri.
Hingga saat ini, belum diketahui fakta yang mengungkap secara pasti mengenai kronologi kematian Munir. Namun, sejumlah dugaan menyebut, ayah dua anak itu diracun dalam perjalanan Jakarta-Singapura, bahkan saat transit di Singapura.
Pesawat yang ditumpangi Munir berangkat dari Jakarta pada 6 September 2004, pukul 21.55. Ia duduk di kursi nomor 40G kelas ekonomi. Pada pukul 20.00, Munir melakukan check in. Selang 1,5 jam kemudian, Munir mulai antre masuk pesawat. Ketika itu, Polly menghampirinya dan sempat berbasa-basi. Ia juga menawari Munir duduk di kursinya di kelas bisnis nomor 3K. Munir tak menolak dan pindah.
Pesawat sempat transit di Bandar Udara Changi, Singapura, pada 7 September 2004, pukul 00.40 waktu Singapura selama 1,5 jam. Semua penumpang turun, termasuk Munir. Ketika transit itu, Munir sempat terlihat berbincang dengan dua orang, yakni Pollycarpus Budihari Priyanto dan Ongen Latuihamalo, di sebuah kedai kopi berskala internasional.
Di situ, Polly memesan dua minuman, salah satunya untuk Munir yang telah diberi arsenik. Munir kemudian kembali ke pesawat untuk melanjutkan penerbangan. Sedangkan, Polly kembali ke Jakarta. Perjalanan kemudian dilanjutkan kembali menuju Amsterdam pada pukul 01.50 waktu setempat. Pesawat dijadwalkan tiba di Amsterdam pada 7 September 2004, pukul 08.10 waktu setempat.
Baru sekitar 10 menit pesawat lepas landas dari Bandara Changi, Munir tiba-tiba mengeluh sakit perut. Ia juga sempat memberi tahu keluhan itu kepada sang istri melalui pesan pendek atau SMS. Kepada sang pramugari, Munir meminta obat sakit maag, tapi tak ada.
Beberapa menit kemudian, Munir mulai bolak-balik ke toilet dan beberapa jam kemudian sakit perutnya semakin menjadi-jadi. Munir kemudian meminta pertolongan kepada Tarmizi Hakim, dokter spesialis bedah jantung di Rumah Sakit Harapan Kita, yang sempat bertegur sapa dengannya saat kembali naik pesawat dari Bandara Changi.
Tarmizi kemudian memberi Munir obat diare dan obat maag dari peralatan medis yang dibawanya. Sayangnya, kondisi Munir semakin memburuk. Tarmizi pun menyuntikkan obat kembali ke lengan kanan dan kiri Munir. Namun, tak mempan juga. Munir masih keluar-masuk toilet. Hingga akhirnya, ia mengatakan, ingin beristirahat dengan posisi tidur.
Dari situlah, Munir tidur untuk selamanya dengan posisi miring ke kanan serta kaki tertekuk. Hasil autopsi memperkirakan pria yang disapa Cak Munir itu meninggal pada pukul 09.05, waktu Belanda. Pada 12 September 2004, jenazah penerima penghargaan internasional Right Livelihood Award 2000 itu dimakamkan di Batu, Malang, Jawa Timur.
Dalam kasus ini, Pollycarpus, mantan pilot Garuda, didakwa sebagai pembunuh Munir. Ia divonis 14 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Polly terbukti melakukan pembunuhan berencana terhadap Munir dengan cara memasukkan racun arsenik ke dalam mi goreng yang disantap Munir saat penerbangan menuju Singapura.
Tak terima putusan itu, Polly mengajukan banding ke Mahkamah Agung. Ia dinyatakan tak bersalah dan hanya dikenakan hukuman dua tahun penjara karena terbukti bersalah menggunakan surat dokumen palsu untuk perjalanan. Kejagung kembali mengajukan permohonan peninjauan kembali ke PN Jakarta Pusat. Polly kembali divonis 20 tahun penjara. Pada November 2014, Pollycarpus dinyatakan bebas bersyarat setelah menjalani masa penahanan selama lebih dari delapan tahun.
Mayjen (purn) Muchdi Purwopranjono juga ditahan dengan dugaan sebagai otak pembunuhan Munir, tapi Muchdi akhirnya divonis bebas.
Teror Belum Usai
Kematian Munir meninggalkan kedukaan mendalam bagi Suciwati dan keluarga. Apalagi ketika itu, kedua anak Munir serta Suci, Alif dan Diva Suukyi Larasati masih berusia sangat kecil. Alif berusia tujuh tahun dan sang adik, tiga tahun. Sejak itu, mereka tumbuh tanpa sosok ayah. Suciwati pun harus membesarkan dua buah hatinya itu seorang diri.Butuh sekitar satu tahun bagi Alif untuk menerima kenyataan bahwa ayahnya telah tiada. Menurut Suciwati, cukup berat bagi Alif menerima kepergian sang ayah. Awal-awal kematian sang ayah, Alif sering kali marah tiba-tiba, terlebih saat melihat tayangan televisi tentang kematian Munir.
Sepulang sekolah pada 2015, Alif berteriak marah-marah dan mengatakan mau membunuh Pollycarpus karena sudah membunuh sang ayah. Suciwati hanya bisa membiarkan anaknya marah, lalu ia akan memeluknya setelah emosinya reda. Suciwati dan kedua anaknya kerap menangis setiap mengingat Munir. Ketiganya hanya bisa saling menguatkan satu sama lain.
Bahkan teror terus ditujukan ke keluarga Suciwati usai kematian Munir. Suatu waktu, keluarga itu pernah mendapat kiriman sebuah paket yang dikirimkan di rumahnya di Jakasampurna, Bekasi. Paket itu berisi kepala ayam, kaki ayam, juga kotorannya. Dalam paket itu, juga terdapat tulisan bernada ancaman, "Jangan melibatkan TNI dalam kasus Munir atau Anda akan bernasib sama". Ternyata paket ini juga dikirim ke kantor Munir di Kontras.
Sebelum kepergian Munir, pada 2001, pria kelahiran 8 Desember 1965 itu juga pernah mendapat kiriman paket berisi bom berdaya ledak rendah. Kemudian, 13 Maret 2002, Munir menerima ancaman setelah kantor Kontras diserang sekelompok orang. "Ancama lain sering kami terima lewat surat, telepon, dan SMS," kata wanita berambut pendek ini.
Setelah 15 tahun berlalu, rasa kehilangan yang begitu menyakitkan masih terus dirasakan ketiganya. Kini, Alif dan Diva mulai beranjak dewasa, Alif 22 tahun serta Diva 17 tahun. Diva berniat melanjutkan studinya di Universitas Brawijaya, almamater sang ayah, mengambil kuliah hukum dan menjadi pengacara. Bersama sang ibu, keduanya tak pernah menyerah. Mereka terus menuntut negara yang tak pernah serius menemukan dalang pembunuh sang ayah sekaligus sang aktivis itu. []
Post a Comment