Bagi pasangan yang sudah menikah, kursus pranikah mungkin bukan kegiatan yang asing lagi. Soalnya memang beberapa agama sudah mewajibkan setiap calon pasangan yang ingin menikah untuk mengikuti bimbingan atau pembekalan pranikah sebagai salah satu syaratnya. Di Katolik misalnya, calon mempelai harus mengikuti bimbingan sebelum bisa mendaftar ke gereja. Di Islam, sejumlah KUA juga ada yang mewajibkan pasangan ikut pembekalan dulu.

Nah, baru-baru ini Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy mengusulkan agar setiap pasangan yang ingin menikah punya sertifikat perkawinan. Sertifikat ini bisa diperoleh jika calon mempelai mengikuti pembekalan pranikah yang diselenggarakan negara. Tentu saja, usulan ini pun juga menimbulkan pro kontra, sebagian setuju, sebagian lagi menganggap kewajiban ini hanya akan merepotkan.


Targetnya tahun 2020 besok, pasangan yang akan menikah harus punya sertifikat perkawinan. Tanpa sertifikasi itu, mereka nggak diperbolehkan menikah

Muhadjir mengusulkan regulasi baru terkait syarat pernikahan di Indonesia. Ia ingin agar tahun depan pasangan yang ingin menikah mengantongi sertifikat perkawinan sebagai salah satu syaratnya. Ide ini dibuat agar pasangan punya pengetahuan soal reproduksi sampai kondisi-kondisi berbahaya bagi anak seperti stunting. Pelatihan itu nantinya agar bekerjasama dengan Kementerian Agama dan Kementerian Kesehatan. Selain seluk beluk kesehatan, pasangan akan dibekali pengetahuan soal ekonomi keluarga hingga saran yang bersifat spiritual. Pokoknya paket komplit deh.

Usulan ini disambut baik oleh sejumlah pihak, seperti Komnas Perempuan. Tapi mereka mengimbau agar sertifikasi ini nggak cuma sebatas sertifikat aja

Memang sih, kalau melihat pembekalan yang sudah lebih dulu dilakukan KUA, selama ini ya cuma sebatas diberi nasihat-nasihat aja. Biasanya juga informasinya itu-itu aja, jarang ada yang memberi wejangan soal masalah keluarga yang lebih spesifik dan kompleks, bagaimana mencegahnya, dan lain-lain. Setelah menikah juga rasanya belum ada program untuk mengukur apakah pelatihan pranikah itu efektif atau terbukti menggagalkan perceraian misalnya.

Komnas Perempuan mendukung adanya usulan soal sertifikat perkawinan ini, namun dengan catatan dalam implementasinya nggak cuma sebatas sertifikat semata. Mereka ingin agar pemerintah justru fokus ke praktiknya pasca menikah. Takutnya, pasangan yang mau menikah nanti cuma berpikir gimana mendapatkan sertifikat doang, tapi ogah menerapkan ilmu yang diperoleh dari kursus pranikah.

Ide ini memang penting dan menarik. Apalagi kata Muhadjir, tujuannya juga untuk menekan angka perceraian. Tapi sebagian pihak justru menganggapnya hanya akan merepotkan

Hertanto, seorang narasumber yang diwawancara CNN mengaku kalau sertifikasi nikah ini nggak perlu. Malah menurutnya akan semakin membebani pasangan yang akan menikah, padahal mengurus pernikahan itu sudah sebegitu ribetnya. Lagipula, katanya sudah banyak pasangan yang paham seluk-beluk hingga tujuan menikah. Apalagi selama ini setiap agama sudah mewajibkannya, mungkin menurutnya cuma tinggal diperbaiki yang sudah ada saja, nggak perlu bikin kursus baru terlebih kalau sifatnya sampai wajib.

Sejujurnya, upaya pemerintah ini patut mendapat apresiasi lo. Soalnya kalau melihat banyak sekali kejadian miris yang dialami pasangan setelah menikah, sebut saja KDRT, baby blues yang berujung pembunuhan anak, pemaksaan hubungan seks, penyakit menular seksual, hingga perceraian, rasanya memang nggak sedikit pasangan yang saat menikah belum begitu paham berbagai problematika dalam pernikahan. Tapi mungkin memang penerapannya butuh digodok dengan sangat matang dengan melibatkan banyak pihak terkait.

Post a Comment

Previous Post Next Post